Rabu, 08 Juni 2022


 - DIARY PASCA RESIGN (Kenapa gak dari kemarin !) -


19 Agustus 2020

 

Hari pertama aku tidak bekerja.

Hey ada rasa sangat ringan di pagi hari. Aku bangun siang pagi ini. Tak lagi memikirkan nanti harus apa dan gimana supaya boss gak marah marah. Maklum kerja di perusahaan orang ya nurut sama atasan adalah hal yg wajib dilakukan supaya umur pekerjaan langgeng dan setiap bulan rekening terisi terus. Tapi hari ini aku merasa separuh beban dipundakku hilang. Aku sudah tidak perlu memikirkan bagaimana cara mood boss ku bagus, dan membuat mood ku bagus seharian supaya ASI lancar. Oh yes! Satu lagiii aku tak perlu lagi repot memikirkan jadwal pumping. Full mommy dirumah sudah tinggal nyodorkan langsung ke anak istilah kerennya DBF (Direct Breastfeeding). Drama steril dan cuci botol juga sudah usaaii. Yesss aku gak menyesal untuk resign. Setidaknya di hari pertama ini yang kurasakan.

 

Hari ini suami ambil cuti. Ah senangnya sekarang suami cuti bisa kapan saja tanpa harus dicap tidak profesional karena ambil cuti bersama. Aku  dan suami bekerja dalam perusahaan yang sama, departemen yang sama. Sering kali kalau kami ambil cuti atasan begitu kepo apa agenda kami. Padahal ya namanya suami istri sudah pasti urusan kami ya sama, dan perlu cuti berbarengan. Sakit hatinya kami adalah kami dianggap tidak profesional karena kami cuti bersamaan, helloo kami heran. Namanya suami istri ya masa mau ngurus anak sakit sendiri-sendiri ya masa mau pulang kampung sendiri sendiri. Rule ambil cuti jauh-jauh hari juga kami lakukan, kami paling anti deh cuti dadakan.  Boss kami memang aneh. 

 

Kalau ada yg bilang, ya terima ajalah, kan itu konsekuensi kerja di tempat yg sama. Yes we know that, dan kami sebelum menikah pun sudah antisipasi hal ini. Kami sudah sampaikan diawal bahwa kami hendak menikah, jikalau pernikahan kami mengganggu profesionalisme lingkungan kerja, maka saya 2 tahun lalu siap resign lebih awal. Tapi boss kami Tidak masalah dengan hal itu, maka kami anggap perusahaan utamanya boss kami pun sudah mempertimbangkan juga dong konsekuensi mempekerjakan suami istri di tempat yang sama. Iya gak sih? 

 

Balik lagi soal hari pertama ku "dirumah", terlepas dengan perdramaan kantorku, aku merasa keputusanku berhenti kerja adalah keputusan yang tepat. Dibalik bagaimana keputusan ini lahir sebenarny juga drama, dan mungkin nnti kuceritKan di bab bab selanjutnya, berhenti bekerja membuat aku kembali merenung tentang tujuan pernikahan ku. Bukankah dulu saat aku memohon dimudahkan dalam menikah karena aku ingin mendulang pahala besar dalam pernikahan? Bukankah pekerjaan istri yg berpahala banyaknya ada didalam rumah? Dan bukankah anak memiliki hak untuk ditemani ibuknya full selama masa pertumbuhan emasnya? Aku seperti diingatkan kembali soal niat dalam menikah, dan aku merasa menjadi ibuk yang jahat membiarkan anakku di rajut diolah dididik bukan dengan tanganku. Aku merasa 1000 hari pertama yang mereka butuhkan adalah kasih sayang, bukan materil. Bukan gaji umminya, tpi waktu umminya. Sedih rasanya 3 bulan setelah melahirkan aku harus meninggalkan bayi mungilku di tangan orang lain. Setiap brgkt kerja terbayang wajah polosnya saat pamitan berangkat kantor. Wajah yg gak ngerti apa apa soal dunia, lalu kenapa aku tega? Pantaslah Allah tak mewajibkan wanita mencari nafkah, pantaslah Allah memuliakan wanita didalam rumah. Ya karena wanita ibadahnya dirumah . Kembali lagi guys, semua pilihan. Ibu dirumah ibu bekerja adalah pilihan setiap wanita dengan masing masing konsekuensinya. Dan ini adalah versiku. 

 

Sebelum resign aku sering mendapatkan masukan untuk tetap bekerja. Tapi setelah kupikir masukannya semua tentang duniawi. Tentang pendidikan yang mahal, kebutuhan anak nanti banyak loh. Kalau suami istri gak kerja nanti gak punya rumah dan mobil. Apakah diantara mereka ada yang memberikan masukan tentang begitu berharganya anak untuk diurus sendiri ditangan ibuknya? Dan ganjaran akhirat untuk merawat anak? Setelah kuingat hampir Tidak ada masukan itu. Semua yang dibahas tentang duniawi. Hanya akhir akhir ini setelah keputusan resign itu muncul, orang orang kemudian support soal merawat anak sendiri adalah bagus. Ah sudahlah aku pikir itu hanya basa basi obrolan, kemarin-kemarin kemana saja? Hahaha. 

 

Menurutku Jikalau bukan kita yang memberi waktu pada diri sendiri tentang merenungkan tujuan diciptakannya wanita, pasti arus duniawi akan menang dan menguasai pikiran kita. Apalagi wanita, sudah paling gampang tergoda dunia. Siapa sih yang gak mau punya uang sendiri, mandiri financial? Tp Alhamdulillah Allah masih melembutkan hatiku untuk berpikir sejenak tentang niatku berumah tangga. Tentang apa yang dulu kepelajari soal kodrat wanita, tentang Allah menciptakan wanita adalah untuk mendidik generasi, melahirkan, melanjutkan keturunan, memastikan keberlangsungan kehidupan terjaga karena wanita, keshalihan anak pun tergantung wanita, maka kebaikan dunia pun secara langsung maupun tidak langsung karena wanita perannya mendidik anak, perenungkan ku juga mengingatkan ku tentang hak dan kewajiban istri yg dulu kepelajari. Ya aku ingat, Dulu tujuanku menikah bukan dunia, tp akhirat dengan mencari pahala. Cita citaku dulu mendidik anak dengan caraku, style ku, mengurus suami, menyambut suami pulang kerja, mengucap terimakasih atas lelahnya bekerja, memasak dirumah, bermain dengan anak, dan mungkin ini saatnya aku kembali fokus mewujudkan mimpi itu. 

 

Hari ini agendaku dengan suami dihari pertamaku resign adalah mengurus masalah rumah. Ya kan? Suami cuti pasti ada yg diurus. Kami berangkat pagi untuk urus tagihan listri yang membengkak. Halah biasalah BUMN satu itu, ada saja oknum oknum yang merugikan kami rakyat jelata. Mereka yang tidak bekerja tuntas, kami yang merana. 8 bulan sudah kami kontrak rumah di daerah tambun. Rumah mungil yang dari luar terlihat nyaman, tapi dalamnya menyimpan banyak cerita mengelus dada selama 8 bulan ini. Ah nanti akan ku ceritakan tentang rumah ini. Ya 8 bulan pula PLN tidak mengecek stand meter kami, selama itu pula mereka hanya menagihkan tembak angka. Aku memang curiga dengan jumlah tagihan tiap bulannya, tp aku berpikir ah mungkin di kab bekasi tarifnya murah. Aku pun tak ambil pusing. Ya buat apa. Sudah ditempat kerja pusing, ya jujur aku cukup malas untuk melanjutkan kecurigaanku. Sampai akhirnya kecurigaanku terjawab dengan tagihan agustus ini yang mencapai hingga 1,6jt. Gila. Memang rumah saya gedong apa!? Aku marah dan kesal, dari situlah aku tahu, bahwa selama 8 bulan PLN tidak bekerja tuntas mengecek stan meterku. Huft bagaimana ini? Tagihan yg seharusnya tiap bulan bs tercover ini sudah terakumulasi. Aku dan suami pun mendatangi kantor setempat untuk meminta kejelasan dan tentunya meminta kompensasi atas ketidak tuntasan mereka dalam bekerja, dengan asal tembak kwh pemakain tiap bulan selama 8 bulan. Woy kemane aje lu?

 

Aku dan suami sempat berdebat dengan petugas. Ya tentulah aku tidak terima, mereka yg gak kerja tp kami yg dibebankan tagihan sebesar itu sekaligus. Akhirny kami mendapatkan keringanan cicilan pembayaran dengan keluar surat hutang. Ckckck berniat tidak berhutang dalam hidup, malah berhutang gara gara orang lain yg kerjanya gak beres. Semoga berkah deh pak petugas gajinya udh nyusahin kami. Miris dengan negara ini. Sebenarny kami cukup tidak puas dengan kompensasi keringanan pembayaran. Ekspektasi kami adalah potongan biaya akibat kesalahan mereka. Restoran aja jika ada salah berani kasih gratis, ya kan!? Tapi ekspektasiku terlalu tinggi dan berujung kecewa. Mereka? Y tetap cuan lah walau dicicil kan mereka tetap mendapatkan bayaran. Tp yasudah kami tidak heran sekali lagi dengan kondisi ini. 

 

Setelah beres urusan PLN, tetiba aku kepikiran untuk mengajak suami belanja kebutuhan MPASI anaku. Yess aku resign tepat saat anakku akan memulai makan diusianya 6 bulan. Ah itu lagi, Allah seakan mengaturnya secara tepat. Aku menyadari dari sederhana kegiatan makan dengan anak, ada banyak nilai nilai yang bisa kita ajarkan langsung ke anak. Bukan dengan pengasuh bayaran kita. Yang mungkin akan asal saat memberikan makan kepada anak kita. Sekali lagi aku beruntung bisa menemai anak ku ke tahap baru kehidupannya. Makan. Dan aku? Masih belum menyesal karena resign. 

 

Aku sungguh berterimakasih dengan suamiku, yang begitu support dengan putusannku. Beliau yg selalu support nilai nilai akhirat. Masyaa Allah mas, kamu penyeimbangku. Beliau selalu bilang, bahwa aku tak pernah kehilangan rezeki ku karena berhenti bekerja. Aku sedang menjemput rejeki ku yg lain, yakni merawat dan menemani anak tumbuh. Bahagia bisa kita pilih, dengan materil, atau dengan melihat anak tumbuh melalui nilai nilai yang kita tanamkan sendiri. Yes aku setuju mas! Aku pun semangat di minggu ini untuk prepare all stuff about MPASI. Dan hari ini aku masak untuk anak ku. Menu kali ini Nasi Ati ayam, jamur, wortel! And you know what? Maryam lahap dan sukak banget! Aku happy lihat sendiri anak ku makan ditanganku. Gak sabar untuk coba menu 4 bintang lainnya sesuai anjuran WHO. Oia guys, ini dia fungsinya jadi ibuk harus sekolah yang tinggi, pendidikan sudah paling efektif membuat seseorang mempunyai pola piki yang open minded soal perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu pengasuhan anak, aku yakin temen-temen yang kuliah udh biasa banget deh cari-cari informasi di dunia maya, bahkan skill kita waktu dikuliah membuat kita pandai memilah informasi, mana yg akurat, fakta, mitos, hoax sehingga kita bisa tepat dalam pengasuhan anak. Oia bukan berarti ilmu asuh anak dari nenek moyang salah ya, tapi insyaa Allah makin kesini makin banyak penelitian dan perkembangan ilmu, jadi jangan kolot ya, jangan juga dibilang anak milineal selalu benar dan gak nurut, hey kita hanya mencoba membuka informasi, memperbahrui ilmu. So guys! Ini ceritaku dihari pertama. Masih belum menyesal resign. ️