Selasa, 07 Maret 2017

Sudah lupa berdo'a untuk orang lain?

Ketika Do'a membawa Kebaikan yang lainnya

 
1 Do'a untuk Orang Lain = 1 Do'a untuk Kebaikanmu

Terkadang sebuah kebaikan tidak harus diperlihatkan. Tapi banyak kebaikan lain yang disebarkan manusia tanpa terlihat tapi bisa di rasakan. Salah satunya adalah Do'a yang dikirim untuk orang lain. Di negeri kita Do'a masih dipercaya sebagai sebuah hal yang ajaib dalam kehidupan. Untungnya masyarakat kita masih menganggap do'a sebagai tempat menggantungkan harapan. Jadi masih banyak orang-orang yang percaya kepada Tuhan, percaya do'a dan percaya bahwa dirinya bukan apa-apa tanpa berdo'a. Maka ternyata masih banyak orang-orang di negeri ini yang tidak sombong dan arogan karena masih butuh Tuhannya. Dan masih banyak orang-orang baik yang bisa menahan dirinya, memasrahkan dirinya dengan berdo'a. Maka negeri ini masih akan tetap damai ketika manusianya masih berdo'a.

Tulisan ini hanya opini dan berkisah tentang sebuah kebiasaan dari seorang gadis yang berharap do'anya dapat memberikan kebaikan untuk orang lain dan dirinya sendiri. Yang menggunakan do'a sebagai pembentuk pribadi positif. Yang berdo'a untuk selalu percaya bahwa sebuah ketidakmungkinan akan menjadi mungkin ketika do'a yang terus menerus dipanjatkan sampai ke Maha Pencipta. Dan yang percaya bahwa do'a memiliki keistimewaan nya tersendiri. Serta yang menyadari bahwa dari ber'doa ada banyak hal positif yang muncul tanpa sadar.

Berawal dari hal sederhana. Berawal dari hati yang tergerak ingin membantu setiap kali ada yang "kurang beruntung" berpapasan atau melintas. Tapi apa daya saat itu hanya bisa simpati, saat itu tidak punya cukup kemampuan untuk mengurangi beban mereka, dan entah mengapa yang terpikirkan saat itu adalah berdo'a untuk kebaikan dirinya. 

Suatu ketika, di sore hari, sekitar enam tahun silam. Aku mendapati sebuah cuplikan sederhana yang Tuhan perlihatkan dan tidak pernah aku lupakan. Saat itu senja akan berganti malam, dimana beristirahat adalah pilihan yang paling tepat setelah seharian penuh beraktivitas. Namun, aku tidak melihat itu ketika seorang bapak dengan panggulan di pundaknya, membawa dua kotak bertuliskan "sol sepatu" masih terlihat mengitari kompleks perumahan ku sambil berteriak "sol sepatu.... sol sepatu....".  Beliau masih berusaha menjual jasanya, walau kini matahari semakin bergerak ke ufuk barat, dan pelan-pelan cahaya nya meredup di langit sore. Beliau memperbaiki sepatu-sepatu rusak yang mungkin pelanggannya ada di salah satu deretan rumah gedong itu. Aku pun baru saja turun dari mobil angkutan umum selepas pulang bersekolah. Dari jauh aku sudah memperhatikan beliau. Peluh keringat terlihat di dahi, handuk kecil yang melingkar dileher terlihat lusuh namun khas dari si bapak. Wajahnya yang mulai keriput sangat jelas terlihat letih, bahkan asumsiku beliau sangat letih. Entah letih karena telah mengitari banyak kompleks dan perkampungan atau letih dengan kehidupan yang ia jalani. Tapi yang aku tahu ada keluarga yang menunggu nya dirumah, dan berharap ia pulang membawa sedikit rezeki untuk menyambung hidup. 

Aku memperhatikan, tapi pikiranku meluas. Aku berandai bagaimana jikalau beliau adalah ayahku. Sungguh aku tidak tega jika membayangkan ayahku lah yang sedang berjalan disana yang hatinya terus berharap ada salah satu orang dari rentetan rumah tersebut memanggil beliau untuk memperbaiki sepatu. 

Pada saat itu tahun 2011, jasa memperbaiki sepatu, terlebih di kompleks perumahan yang cukup baik secara ekonomi, bukanlah hal mudah untuk beliau menjual jasanya. Itu asumsiku. Karena pada umumnya orang-orang akan membuang sepatu atau sandalnya yang rusak dibandingkan harus menggunakan jasa Tukang Sol keliling. Itu pula yang terjadi pada diriku. Lagi, aku banyak mempertanyakan dalam diri, berapa pengasilan beliau seharinya, apakah anaknya sekolah, apakah hari itu iya sudah membawa cukup uang? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang memutar di otakku sambil tetap memperhatikan beliau yang sedari tadi berjalan lambat masuk-keluar gang. Ku toleh saku ku, nihil. Uangku memang sudah habis. Bahkan di sekolah saja aku hanya bisa membeli tahu goreng karena uang saku ku sudah habis untuk ongkosku bersekolah, yang jaraknya cukup jauh. Aku sedih, aku iba dan Aku merasa tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan aku tidak bisa berpura-pura untuk hanya sekedar melem kan sepatu ku dirumah karena memang aku sendiri tidak punya uang untuk membayar jasanya. Lantas, apa yang terlintas olehku saat itu? Ya, entah mengapa aku malah memilih berdo'a untuknya. 

Masih terlihat bapak itu di ujung mataku, karena memang jalanan saat itu cukup sepi tidak ada yang menghalangi pandanganku, dan jalan itu cukup panjang untuk beliau tidak terlepas dari perhatianku. Spontan saja aku bergumam di dalam hati " Ya Allah, berikanlah rezeki Mu, berkah Mu dan rahmat Mu, agar beliau dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, hanya kepada-Mu lah Hamba berharap, memohon dan meminta" Yak! kalimat itu yang aku gumamkan sebanyak 3x, dan tidak terasa air mataku berada di ujung mata. Jujur, memang aku adalah orang yang cukup melankolis, mudah tersentuh dan emosional. Tapi aku bersyukur dengan itu, paling tidak hal itu yang selalu mengingatkan ku bahwa banyak yang masih belum seberuntung diriku, dan banyak hal yang perlu disyukuri. Tak lama aku menyelesaikan do'a ku, Tuhan seakan langsung menjawab. Aku kaget. Aku terdiam. Seketika itu pula langkahku terhenti. Seseorang keluar dari salah satu rumah itu, pagarnya hitam. ya aku masih ingat. Beliau memanggil bapak sol sepatu, menenteng sepatunya dan hendak menggunakan jasa si Bapak. Ketika itu aku langsung merasa, "Ya Allah? apa benar engkau langsung mengabulkan? Ya Allah ini benar ada orang yang memanggilnya untuk memperbaiki sepatu??" aku terus bertanya tapi aku turut senang, hati ini membuncah. Jika memang itu karena do'aku maka aku sangat bersyukur. 

Dari situlah, kemudian awal mula keyakinan ku terhadap sebuah do'a muncul. Awal mula aku belajar bahwa berdo'a bukan hanya untuk diri sendiri dan orang tua, tapi berdo'alah untuk orang lain, bahkan untuk orang yang sama sekali tidak kita kenal. Berdo'alah karena berharap kebaikan untuk orang lain.

Sampai saat ini, kalimat itu, beserta urutannya tidak pernah berubah. Aku masih sangat senang mendo'akan orang lain dengan sepenggal kalimat tersebut yang telah membuka mataku tentang keajaiban sebuah do'a. Sejak saat itu pula, aku mulai rutin mendo'akan orang-orang terdekat. Hadiah untuk orang lain tidak hanya barang dan uang, bahkan bagiku sekarang do'a tidak kalah penting. Banyak orang-orang yang tidak bisa kita bantu walau sebenarnya rasa membantu itu sangat kuat, maka berdo'alah untuk mereka. Saya bersyukur sampai sekarang masih menggunakan kendaraan umum, saya masih disadarkan di jalan bahwa saya masih sangat beruntung. Saya belum bisa merangkul mereka semua, tapi semoga do'a saya turut membantu kebaikan mereka. Yuk saling mendo'akan!

Do'a menjadikan aku untuk selalu berpikir positif. Positif kepada Tuhan dan positif kepada kehidupan. Memanjatkan do'a berarti kita memiliki cita-cita dan harapan. Maka dari do'a manusia terus hidup. Berdo'a juga bukan berarti meyakinkan diri semuanya akan terwujud sesuai ekspektasi diri seperti cuplikan kisah diatas. (Cuplikan diatas bagiku adalah pengingat bahwa do'a memanglah memiliki keistimewaannya sendiri, terlebih do'a itu untuk kebaikan orang lain). Tapi berdo'a adalah kekuatan diri ketika lemah, dan penasihat diri ketika berada diatas angin.  Bahwa semua yang terjadi karena Tuhanlah yang menjadikan. Tidak ada do'a yang tidak dikabulkan, melainkan diganti yang lebih baik dari yang kita kira, atau di pending karena kita belum siap. 



“Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama,”  
(HR. Muslim no. 4912)